Sepotong Lainnya

04 August 2021

Slender Woman by Plato Terentev on Pexel


Beberapa waktu lalu, saya berpapasan dengan seorang sahabat lama. Sebut saja dia, SH. SH adalah sahabat masa kecil saya, kami berteman sejak taman kanak-kanak. Kami besar di lingkungan yang sama dan orang tua kami juga berteman cukup baik. Pertemuan kemarin itu terasa sangat canggung, karena kami sudah sangat lama tidak bertukar sapa. SH di masa kini jauh berbeda dibanding SH ketika kami masih main bersama saat SMP (yaaeyalaah...) 

 Sejenak saya mengarungi kembali masa SD dan SMP saat masih berteman dengan SH. Begitu banyak yang saya dapat, tapi banyak juga kehilangan saya. Intan remaja adalah anak yang tidak percaya diri, merasa rendah karena tidak cantik dan lain lain. Sebagian besar karena SH. Saya tahu kurang bijak kalau bilang begini, apalagi ini sudah lama sekali. Sejak kelas 4 SD, SH selalu menanyakan apakah saya mendapat coklat setiap hari Valentine. Saya selalu berbohong kalau saya dapet, padahal ya siapa yang mau ngasih, saya juga ngga doyan. Atau sering bertanya-tanya siapa orang yang saya suka. Apakah ganteng, kaya dan sebagainya. SH selalu punya pacar, sedangkan saya ngga. Saat kami lulus SMP, SH dengan bangga bercerita dia sudah punya sebelas mantan pacar, sementara saya, ngga pernah pacaran. 

SH selalu membuat seakan-akan pacaran itu pencapaian yang wah, buat saya saat itu, ya ngga penting. Sepanjang pertemanan kami dari SD, SH selalu punya pacar. Selalu. SH bahkan bisa bicara tanpa beban kalau dia sudah berkali-kali memberikan oral seks pada pacarny. Sejak SD, SH ngga pernah belajar. Kalau mau ujian, dia selalu mengandalkan saya. Kalau saya masuk kelas pagi, dia kelas siang, dia pasti minta tulisin jawaban ujian. PR sekolah pun dia nyontek sama saya. Dulu saya nurut aja, karena dia teman yang baik. Maksudnya, anak usia segitu, would do anything for friends. We don't do this sorting yet. 

 Ada satu hal lagi, SH selalu mencemooh jerawat saya. Getting acnes on the teen age is a super normal. Saya pun sadar itu, saya juga ngga diam aja. Ibu belikan macam-macam supaya redakan jerawat saya. But, fighting hormonal is like counting sands on the beach alias ya udah lah ya...
 Karena SH yang bodoh dalam pelajaran (err...) dia lulus SMP dengan nilai seadanya. Sementara saya, ya ngga pinter-pinter amat juga biasa aja, lulus cukup untuk masuk SMA favorit. Mungkin itu salah satu hal terbaik dalam hidup. 

Pisah sekolah ini membuat saya dan SH tidak lagi main bersama. Saya pun ngga pernah kontak lagi dengan dia terlebih saat saya melanjutkan kuliah di Bandung. Pertemuan kembali dengan SH kemarin membuka kembali kotak kenangan yang sudah saya kubur dalam-dalam. Menjadi dewasa mengajarkan saya pentingnya memilah teman. Dipilah ya bukan pilih-pilih gitu. Mana pandemi ‘kan, makin susah juga bergaulnya. Dan SH sudah pasti orang yang saya coret dari daftar teman. 

Saya juga ngga yakin dia masih anggap saya teman sih, tapi bagus kalau begitu. Relasi toksik di masa remaja saya dengan dia dulu, kadang menyisakan luka, tapi yah diplester lagi aja, gimana?

Post a Comment