pic by Praphaphan on Pexels.com |
Aku memeluk erat Rahmat dari belakang tubuhnya. Kuhujani tengkuk yang menggosong terbakar matahari itu dengan kecupan-kecupan. Kuhirup wangi tubuhnya lekat-lekat. Parfum murah tiruan beraroma kayu, bercampur peluh setengah hari dan bau amis ikan-ikan kecil. Aku lega melihat dia bisa tersenyum tipis.
Rahmat mengangkat kakinya dari air. Jari jemari yang mengkerut dan keriput itu, aku tahu dia sudah terlalu lama duduk termangu di tepi kolam. Rahmat melenguh, menatap nanar ke arah bangku penonton. Kalau tak ada tragedi itu, mungkin sekarang gelanggang ini sedang riuh sorak sorai tepuk tangan karena trik-trik baru yang dipertunjukkan oleh Surti dan Tedjo.
Surti yang
mendadak mati membuat Rahmat terpukul. Namun dalam hati, aku bahagia bisa jadi
tempat sandaran Rahmat yang sedang berduka saat ini. Delapan bulan berpacaran,
aku tak pernah rasakan perhatian istimewa darinya. Waktunya terkuras hanya
untuk Surti dan Tedjo, primadona di Taman Bermain. Tiap kami berkencan
yang dia ceritakan hanyalah soal dua singa laut bodoh itu. Rahmat adalah pawang
mereka selama lima tahun. Sementara, aku cuma punya keluh kesah tentang anak-anak
berebut antrean masuk, yang jadi pemandangan sehari-hari dari balik loket
komidi putar. Aku malu mengakui ini,
tapi aku cemburu pada Surti dan Tedjo. Semua rahasia hidup, bahkan yang gelap
sekalipun, Rahmat bagikan pada mereka. Singa laut itu cerdas dan tak ada hewan
yang menghakimi, katanya waktu itu.
Baru saja aku mereguk degup karena bibirku dan
Rahmat saling bertemu, suara erangan Tedjo menggema di seluruh arena. Rahmat
pamit sebentar ke kandang di belakang panggung, barangkali Tedjo bosan, ujarnya.
Ah, binatang sialan. Menganggu saja.
Aku berjongkok di tepi kolam pertunjukan, menyibakkan
air sambil menunggu Rahmat kembali. Tiba-tiba kurasakan sebuah hantaman di
punggung. Sangat keras hingga aku tercebur ke kolam sedalam dua meter itu. Aku
panik! Aku tak pandai berenang! Tanganku berusaha menggapai apapun, namun
nihil. Dari pandangan redupku, aku lihat sosok hitam legam dan besar, berpijak tegap di pinggir
kolam. Sosok itu meraum nyaring ke arahku. Tedjo kah itu?! Astaga, benar Tedjo! Aku ingin berteriak
tapi tak mampu. Ah, Tedjo, maafkan aku. Sungguh aku cuma ingin membuat Surti
sakit. Tidak lebih. Aku tak mengira kerang busuk itu malah membunuhnya.
Post a Comment