Saya berkesempatan menonton ‘Paranoia’ pada early
screening mereka akhir Oktober lalu. Selain karena butuh me-time, lokasi pemutaran
yang dekat dari rumah, dan tentu saja karena ada Nicholas Saputra--yang menjadi
cast di film tersebut, sedang promo bersama produser, Mira Lesmana, sutradara
Riri Reza dan Nirina Zubir.
Ibu-ibu angkatan milenial atau yang dua puluh tahun
lalu menjadi remaja, besar bersama Rangga dan AADC kayak saya gini, pasti
penasaran banget dong liat akting Nicho main di film yang--kalau dari
trailernya sih, dapat disimpulkan film ‘Paranoia’ ini bergenre thriller ya.
Dengan spirit #KembaliKeBioskop, saya sebenernya
terharu waktu Riri Reza, sebagai sutradara memberikan sambutan pembuka sebelum
pemutaran film. Pandemi ini beneran mengentak banyak industri tak terkecuali
industri film Indonesia. Kalau saya gambarin dengan sotoy ya, finally filmmaker
bisa ketemu langsung dengan audiens yang akan melihat karya mereka--setelah
satu setengah tahun pandemi, I know it meant a lot for them.
Lalu, bagaimana dengan filmnya sendiri? HAHAAHAHADUUH...
It could have been better, really.
‘Paranoia’ bercerita tentang ibu dan anak
perempuannya yang berusaha melarikan diri dari sang suami. Dina diperankan oleh
Nirina Zubir, membawa kabur sebuah barang berharga milik Gion (Lukman Sardi), suaminya,
yang membuat Gion murka. Ada beberapa adegan flash back yang menggambarkan
bagaimana Gion berperangai kasar secara fisik dan mental terhadap Dina. Berlatar
situasi pandemi, Dina yang bekerja mengelola vila-vila di Bali milik seorang
pengusaha, bersama putri semata wayangnya, Laura (Caitlin North-Lewis) terpaksa
pindah dan bersembunyi begitu mengetahui Gion bebas dari penjara. Mereka
kemudian bertemu dengan Raka, diperankan oleh Nicholas Saputra, pria misterius
yang menempati vila lain tidak jauh dari vila tempat Dina dan Laura
bersembunyi.
Saya sangat apresiasi filmmaker mau mengangkat tema
kekerasan domestik yang berdampak panjang pada psikis korban. Dina di sini adalah
hasil dari relasi pernikahan dengan suami yang abusif. Istri dan ibu dengan
jiwa tidak stabil akibat represi dari pasangan tentu berpengaruh pada pengasuhan
anak
Pada beberapa dialog dengan Laura, Dina mengalami
rasa curiga berlebih, takut dengan orang asing, bahkan di salah satu adegan,
Laura pun akhirnya mengkonfrontasi Dina kalau dia sebenernya udah eneg pindah ke banyak
kota dengan Ibu yang selalu was-was diikuti orang suruhan Gion. Ya pokoknya
parno gitu (yeah, of course! Hence the title)
Namun, entah kenapa buat saya eksekusinya ngga berhasil ya untuk menyampaikan pesan—itu pun kalau ada. Saya ngerti film ini diproduksi di situasi yang jauh dari optimal, tapi ini kan datangnya dari rumah produksi ternama yang film-filmnya banyak jadi favorit saya. Kok gini?
Lack
of characters’ depth
Saya sama sekali ngga bisa berempati pada semua
karakter utama, bahkan pada Dina. Tapi harus saya akui, Nirina bermain ciamik
di sini! You surely could feel her trembles, the fear in her eyes, but that’s
it. Pun pada karakter Laura yang harusnya mencerminkan the teen angst karena
ibu yang overprotective, ngga bisa didapatkan sama sekali. Selain ngga nyaman
dengan aksennya, hampir setengah film kamu akan liat Laura and her bikini body.
Too much and unnecessary.
Lalu, bagaimana dengan karakter Raka yang diperankan
oleh idola wanita tingkat nasional, Nicholas Saputra? Raka yang misterius,
saking misteriusnya dia siapa, rasanya kalau ngga ada juga ngga apa-apa lah.
*KZL
Sepanjang film sejak kemunculan Raka, kita akan bertanya-tanya tentang dia. Tapi ngga ada petunjuk apa pun dong. Raka, masa kamu kalah sama Blue? Blue aja masih kasih kita clue.
Asli deh, kita akan tahu
Raka adalah mantan arsitek yang anaknya meninggal dalam kecelakaan, trus ya udah.
Teka-teki Raka ini, apa backstory dia, kenapa dia begitu misterius, ini
cuma kejawab di adegan udah mau akhir trus gitu doang. Beneran GITU DOANG
HAHAHHA. Sampe bingung aku tuh. Sepanjang film beneran ngga bisa connect
dengan karakter Raka ini, walau dulu kukira Nicho adalah jodohku . Padahal ya, background karakter si Raka masih bisa digali lho.
Kehilangan anak, trauma, mencoba ‘kabur’ dari kenyataan, mungkin menyalahkan
diri sendiri. Tapi di sini kita ngga bisa dapetin itu... Maaf ya, Nicho, you didn’t make it here. Better
luck, next time?
Untuk karakter
Gion, masih terlalu dangkal buat saya sih. Ekspresi mikro Lukman Sardi
saat menjadi suami abusif cukup apik lho. Kita bisa cukup merasa ‘terancam’
hanya dengan tatapannya. Tapi tetap semua terasa nanggung. Apalagi pas adegan
ending, haduh. Alih-alih merasa terharu, penonton satu studio malah ngakak.
Anyway, this
certainly not my movie. Ngga berkesan, ke luar studio, juga udah lupa.
Penyelamat film ini buat saya adalah scoring dan musik soundtrack-nya. Scoring-nya
cakep dalam membangun nuansa tegang.
Jadi, kalau dari saya cukup 2.5/5 saja. Satu bintang penuh buat Nirina, satu untuk penata musik, setengah untuk dibagi-bagi...
Post a Comment