Si Buas yang Bebas

14 December 2020

 

Photo by Marina Reich on Unsplash


Dengan langkah terseok dan napas tersengal, Arya berjalan ringkih menuju dapur di bagian belakang rumah. Tangan kanannya memegangi luka menganga di pelipis yang mulai bengkak dan basah oleh darah. Tangan lain menggeledah tiap sekat lemari penyimpanan, untuk mencari benda serupa tali seperti yang diperintahkan Marni, ibunya. 


Malam ini adalah salah satu dari malam-malam ganjil yang terjadi pada musim kemarau. Bertahun lalu, Mbah Yitno, seorang tetua di kampung, menuturkan perihal maut yang akan terjadi saat hujan membanjiri sungai dan membasahi sawah yang kering kerontang akibat tuarang panjang. Tiga hari berselang, Mbah Yitno bertemu ajal. 


Warga kampung menganggap ramalan Mbah Yitno hanyalah racauan orang mau mati. Sampai seminggu kemudian, Pak Gito, wakil sekretaris desa, ditemukan tewas secara misterius di pinggir sungai yang alirannya mendadak deras karena hujan lebat di malam sebelumnya. Tak ada tanda-tanda penganiayaan, atau luka berarti. Hanya tubuh yang terbujur kaku. Malam yang aneh, karena malam-malam selanjutnya tidak ada lagi hujan, begitu pula di siang hari. Kemarau pun berlanjut hingga habis masanya. 


Tahun berikutnya, sawah kembali mengering, air sungai mendangkal, masih ada empat purnama menuju musim hujan. Lalu, malam ganjil itu terjadi lagi. Tahu-tahu badai mampir dan kali ini membawa angin ribut. Banyak sudut desa yang porak poranda. Paginya, beberapa warga menyusuri sisi sungai, sekadar memeriksa apakah ada mayat seperti tahun lalu. Memastikan nubuat Mbah Yitno hanya kebetulan belaka. Warga bersyukur tak ada apa-apa, hanya bangkai tikus dan ikan-ikan mati terbawa arus. 


Di siang hari, ada kegaduhan tak terelakkan di kampung. Adalah Saprudin, suami dari Yuk Tinah, kawan baik Marni sesama pedagang di pasar, ditemukan mati bersama seorang pelacur tua dengan cara yang tak lazim, di sebuah bilik lokalisasi di kampung sebelah. 


Marni tidak merekam sedikitpun kesedihan dalam wajah Yuk Tinah saat mendengar berita itu. Namun, Marni melihat jelas pancaran amarah yang begitu nyala dari mata wanita yang selama ini menjadi telinga atas segala keresahan Marni.


“Aku kerja banting tulang buat keluarga, wong edan dia malah enak-enakan main gila! Sudah pasti karma dia!” ucap Yuk Tinah penuh murka saat pamit pada Marni.


Tak kuat lagi dengan gunjingan warga soal kematian suaminya, Yuk Tinah pun membawa dua putrinya angkat kaki dari kampung. Buang sial, katanya.


***


Malam ini adalah salah satu dari malam-malam ganjil yang terjadi di musim kemarau. Hujan turun dengan lebatnya sedari sore, memuntahkan air bah yang menyebabkan sungai meninggi dan arusnya menggerojok.


Marni dan Arya berjalan tertatih menuju sungai untuk menyelesaikan urusan mereka. Arya menatap ibunya penuh kebingungan. Ribuan pertanyaan di kepala Arya tersirat jelas di matanya. Marni pun sama, kelimpungan, gugup, sangsi, dalam dirinya ia pun rasakan luapan kegelisahan. Tapi ini sudah buntu.


“Kamu pegang kakinya, ya. Ibu hitung sampai 3, kita lempar sama-sama…” perintah Marni pada Arya.


“Satu…dua…tiga. Lempar!!!”


Dalam hitungan detik saja jasad Darto sudah hilang dari pandangan, terbawa aliran sungai yang pesat. Ada sesak yang begitu dahsyat di dada Marni, tapi tak pungkiri secuil kelegaan di sana. Tak bisa lagi bedakan apakah ini tetes hujan atau air mata menitik di pipi Marni.


Darto adalah cinta pertama bagi Marni, suami dan ayah untuk Arya yang ia kasihi. Namun sore tadi, tak bisa lagi Marni tahan melihat Arya, belahan jiwa semata wayang, dipukuli dan diperlakukan bak karung pasir oleh Darto, akibat kalah berjudi.


Menghilangkan nyawa Darto malam ini adalah manifestasi dari rasa sakit dan semua luka yang terpendam terlalu lama. Represi fisik dan mental yang dialami selama dua puluh tahun menikah, memantik kenekatan Marni untuk meyudahi penderitaan. Jiwa-jiwa buas di dalam Marni akhirnya menjengul untuk melakukan perlawanan.


Marni mendekap erat Arya yang menangis kencang di peluknya. Seperti tujuh belas tahun lalu saat ia baru lahir. Berdua mereka berusaha memproses semua kejadian malam itu.


“Gimana orang-orang kampung nanti, Bu?” tanya Arya dengan suara tercekat


“Biar saja mereka kira ini adalah nujuman Mbah Yitno. Kita kemasi barang-barang, bawa apa saja yang penting” ucap Marni sambil merangkul Arya berjalan menuju rumah.


Di jalan sesekali Marni mengamati langit pekat malam itu. Hujan yang ganjil, batinnya.


Marni pun memantapkan langkah mengikuti jejak Yuk Tinah. Pergi, buang sial.  

Post a Comment