![]() |
Photo by camilo jimenez on Unsplash |
Di
hari ke-7, Muryati membawa dua ember tahi kambing. Dini hari tadi ia
mengendap-endap di alun-alun belakang masjid besar yang berubah menjadi tempat
penjualan hewan kurban. Menggunakan sekop dan pengki, Muryati menyerok timbunan
tahi segar, menahan rasa mual demi melangsungkan misinya. Sebelumnya, Muryati
sudah pernah membawa tahi kuda dan ampas comberan. Namun, sejak Parman,
tetangganya yang seorang supir dokar keliling, pindah kontrakan, Muryati tidak
tahu dimana lagi mencari kotoran kuda. Ketika memasuki musim lebaran haji dan
hewan ternak sedang mudah ditemui, maka, Muryati pun beralih ke tahi sapi dan
kambing. Sama kotornya, sama najisnya.
Melalui
celah di antara tembok dan pagar besi yang bengkok, Muryati masuk diam-diam dari
sisi kanan, sebagaimana yang ia lakukan beberapa hari kemarin.
Celingak-celinguk matanya memindai sekeliling. Mengencangkan kupluk dan kaos
bekas yang ia pakai untuk menutupi separuh wajahnya. Begitu merasa aman, ia
naik ke anak tangga pertama teras pendopo. Muryati menyenderkan tubuhnya pada
satu pilar paling ujung. Mengistirahatkan tangannya yang mulai keram karena
membawa ember-ember tadi. Pilar-pilar besar tak berguna, batin Muryati, memperindah
hanya bangunan luar saja, tapi dalamnya busuk.
Muryati
menuang ember pertama berisi tahi, dengan sekop ia ratakan sampai sepanjang dua
lantai granit seukuran 80 sentimeter. Kemudian, ember kedua juga diratakan ke
bawah sama panjangnya. Jika tidak tahan pada aromanya, ia tidak segan muntah di
atasnya sekalian. Hari ini, Muryati tidak begitu waspada seperti sebelumnya. Ia
tidak sadar sepasang tangan sudah siap menyergap dari belakang.
“NAH
YA, KETAHUAN LO YA…” Didin, kepala petugas kebersihan, sengaja datang lebih
pagi untuk menangkap basah oknum yang mengotori pendopo depan kantor walikota. Didin
yang bertubuh tambun terlalu kuat untuk dilawan. Muryati pun pasrah digelandang
ke belakang pendopo.
“MUR?!
SERIUS?!” Mata Didin membelalak tidak bisa menyembunyikan rasa kaget begitu
membuka penutup wajah Muryati.
“Kenapa,
Mur?! Kenapa?!”
Muryati
tertunduk lesu. Ia lalu jongkok dan membenamkan kepalanya di antara lutut, tangisnya
meledak.
**
Didin
adalah sahabat dekat Mardi, almarhum suami Muryati. Mereka bertemu waktu masih
jadi buruh di pabrik tekstil. Sejak Mardi wafat, bukan sekali dua kali Didin
membantu Muryati dan anaknya. Keadaan menjadi lebih berat untuk Muryati sejak
anak semata wayangnya, Ranggie, meninggal dunia tiga bulan lalu.
Tragedi
yang menimpa Ranggie sempat menjadi headline di berbagai kanal berita.
Pelajar berusia 16 tahun itu tewas setelah jatuh di lubang menganga di trotoar
pada jalan utama. Lubang berdiameter 1.5 meter tersebut adalah salah satu
proyek galian pemerintah daerah untuk membenahi saluran air. Tidak adanya
penerangan layak membuat Muryati murka atas kelalaian petugas. Utusan walikota
hanya mengantarkan karangan bunga beserta amplop duka. Tidak ada permintaan
maaf, tidak ada pernyataan menyesal oleh pemerintah setempat. Setelahnya, Muryati
dibayangi kebencian pada segelintir orang di bangunan berpilar mewah itu.
Dua
bulan setelah kematian Ranggie, Muryati mendatangi kantor walikota meminta
pertanggungjawaban, yaitu menghentikan pekerjaan jalan seperti bongkar pasang
trotoar di jalan utama. Putranya bukan korban pertama. Muryati berkeliling mewawancarai
masyarakat sekitar untuk mengumpulkan korban dari proyek-proyek tidak jelas yang
meninggalkan bekas-bekas galian yang menyengsarakan warga. Puluhan kendaraan
roda dua yang tergelincuh di jalan berlubang, apalagi jika hujan dan lubang di
jalan menjadi genangan. Sepanjang tahun, terutama mendekati kuartal akhir, akan
ada banyak perbaikan di jalan-jalan utama. Saluran air, kabel listrik, kabel
optik, peremajaan gorong-gorong dan lainnya. Sebagai
tukang ojek dan pengantar barang yang berkutat di jalanan, tentu saja Muryati geram.
Protesnya
tidak diindahkan saat itu. Muryati digiring oleh petugas dan diberi pengarahan
untuk mengisi kritik dan saran pada selembar kertas yang semua orang juga tahu
itu hanya prosedur retorik. Mana pernah ada pemangku kuasa yang benar-benar
membaca kertas-kertas berupa keluhan warga, lalu mengamininya. Muryati yang
masih berselimutkan duka, kemudian naik pitam dan melampiaskan amarah pada
petugas yang menyuruhnya pulang.
“KAYA
TAI LO SEMUA! LO JUGA! TAI LO! TAIII…” teriak Muryati sambil menunjuk-nunjuk
muka dua petugas keamanan. Maka, begitulah yang Muryati lakukan selanjutnya,
membawakan tahi kepada mereka.
**
Akhir
pekan panjang karena libur hari raya, kantor walikota pun sepi karena tak ada
aktivitas. Didin menutup sisi kanan pendopo dengan potongan asbes dan triplek
mengelilingi area yang tertimbun tahi. Lalu, ia berikan palang berupa kayu dan
papan penanda, sehingga yang melihat akan menyangka di titik tersebut sedang diperbaiki.
Didin memberikan instruksi pada anak buahnya kalau pendopo depan hanya boleh
dibersihkan olehnya.
Satu,
dua, tiga hari berlalu. Pada hari keempat tahi di lantai pendopo mulai mengering.
Meninggalkan kerak dan aroma yang melekat. Semua orang mengeluhkan bau. Ada
yang sampai muntah-muntah karena tak tahan. Bau yang menguar terbawa sampai ke
ruangan walikota di lantai dua, yang kemudian menyuruh seorang pegawai senior untuk
membereskannya.
Dua
orang petugas mencari atasan mereka, selaku penanggungjawab kebersihan gedung. Mereka
berpencar dari gerbang hingga ke gudang di bangunan paling belakang, namun sayangnya,
keberadaan Didin tidak diketahui hingga saat ini.
Post a Comment