Di Hari ke-7

08 September 2025

 

Photo by camilo jimenez on Unsplash

Di hari ke-7, Muryati membawa dua ember tahi kambing. Dini hari tadi ia mengendap-endap di alun-alun belakang masjid besar yang berubah menjadi tempat penjualan hewan kurban. Menggunakan sekop dan pengki, Muryati menyerok timbunan tahi segar, menahan rasa mual demi melangsungkan misinya. Sebelumnya, Muryati sudah pernah membawa tahi kuda dan ampas comberan. Namun, sejak Parman, tetangganya yang seorang supir dokar keliling, pindah kontrakan, Muryati tidak tahu dimana lagi mencari kotoran kuda. Ketika memasuki musim lebaran haji dan hewan ternak sedang mudah ditemui, maka, Muryati pun beralih ke tahi sapi dan kambing. Sama kotornya, sama najisnya.

Melalui celah di antara tembok dan pagar besi yang bengkok, Muryati masuk diam-diam dari sisi kanan, sebagaimana yang ia lakukan beberapa hari kemarin. Celingak-celinguk matanya memindai sekeliling. Mengencangkan kupluk dan kaos bekas yang ia pakai untuk menutupi separuh wajahnya. Begitu merasa aman, ia naik ke anak tangga pertama teras pendopo. Muryati menyenderkan tubuhnya pada satu pilar paling ujung. Mengistirahatkan tangannya yang mulai keram karena membawa ember-ember tadi. Pilar-pilar besar tak berguna, batin Muryati, memperindah hanya bangunan luar saja, tapi dalamnya busuk.  

Muryati menuang ember pertama berisi tahi, dengan sekop ia ratakan sampai sepanjang dua lantai granit seukuran 80 sentimeter. Kemudian, ember kedua juga diratakan ke bawah sama panjangnya. Jika tidak tahan pada aromanya, ia tidak segan muntah di atasnya sekalian. Hari ini, Muryati tidak begitu waspada seperti sebelumnya. Ia tidak sadar sepasang tangan sudah siap menyergap dari belakang.

“NAH YA, KETAHUAN LO YA…” Didin, kepala petugas kebersihan, sengaja datang lebih pagi untuk menangkap basah oknum yang mengotori pendopo depan kantor walikota. Didin yang bertubuh tambun terlalu kuat untuk dilawan. Muryati pun pasrah digelandang ke belakang pendopo.

“MUR?! SERIUS?!” Mata Didin membelalak tidak bisa menyembunyikan rasa kaget begitu membuka penutup wajah Muryati.

“Kenapa, Mur?! Kenapa?!”

Muryati tertunduk lesu. Ia lalu jongkok dan membenamkan kepalanya di antara lutut, tangisnya meledak.

**

Didin adalah sahabat dekat Mardi, almarhum suami Muryati. Mereka bertemu waktu masih jadi buruh di pabrik tekstil. Sejak Mardi wafat, bukan sekali dua kali Didin membantu Muryati dan anaknya. Keadaan menjadi lebih berat untuk Muryati sejak anak semata wayangnya, Ranggie, meninggal dunia tiga bulan lalu.

Tragedi yang menimpa Ranggie sempat menjadi headline di berbagai kanal berita. Pelajar berusia 16 tahun itu tewas setelah jatuh di lubang menganga di trotoar pada jalan utama. Lubang berdiameter 1.5 meter tersebut adalah salah satu proyek galian pemerintah daerah untuk membenahi saluran air. Tidak adanya penerangan layak membuat Muryati murka atas kelalaian petugas. Utusan walikota hanya mengantarkan karangan bunga beserta amplop duka. Tidak ada permintaan maaf, tidak ada pernyataan menyesal oleh pemerintah setempat. Setelahnya, Muryati dibayangi kebencian pada segelintir orang di bangunan berpilar mewah itu.

Dua bulan setelah kematian Ranggie, Muryati mendatangi kantor walikota meminta pertanggungjawaban, yaitu menghentikan pekerjaan jalan seperti bongkar pasang trotoar di jalan utama. Putranya bukan korban pertama. Muryati berkeliling mewawancarai masyarakat sekitar untuk mengumpulkan korban dari proyek-proyek tidak jelas yang meninggalkan bekas-bekas galian yang menyengsarakan warga. Puluhan kendaraan roda dua yang tergelincuh di jalan berlubang, apalagi jika hujan dan lubang di jalan menjadi genangan. Sepanjang tahun, terutama mendekati kuartal akhir, akan ada banyak perbaikan di jalan-jalan utama. Saluran air, kabel listrik, kabel optik, peremajaan gorong-gorong dan lainnya.   Sebagai tukang ojek dan pengantar barang yang berkutat di jalanan, tentu saja Muryati geram.

Protesnya tidak diindahkan saat itu. Muryati digiring oleh petugas dan diberi pengarahan untuk mengisi kritik dan saran pada selembar kertas yang semua orang juga tahu itu hanya prosedur retorik. Mana pernah ada pemangku kuasa yang benar-benar membaca kertas-kertas berupa keluhan warga, lalu mengamininya. Muryati yang masih berselimutkan duka, kemudian naik pitam dan melampiaskan amarah pada petugas yang menyuruhnya pulang.

“KAYA TAI LO SEMUA! LO JUGA! TAI LO! TAIII…” teriak Muryati sambil menunjuk-nunjuk muka dua petugas keamanan. Maka, begitulah yang Muryati lakukan selanjutnya, membawakan tahi kepada mereka.

**

Akhir pekan panjang karena libur hari raya, kantor walikota pun sepi karena tak ada aktivitas. Didin menutup sisi kanan pendopo dengan potongan asbes dan triplek mengelilingi area yang tertimbun tahi. Lalu, ia berikan palang berupa kayu dan papan penanda, sehingga yang melihat akan menyangka di titik tersebut sedang diperbaiki. Didin memberikan instruksi pada anak buahnya kalau pendopo depan hanya boleh dibersihkan olehnya.

Satu, dua, tiga hari berlalu. Pada hari keempat tahi di lantai pendopo mulai mengering. Meninggalkan kerak dan aroma yang melekat. Semua orang mengeluhkan bau. Ada yang sampai muntah-muntah karena tak tahan. Bau yang menguar terbawa sampai ke ruangan walikota di lantai dua, yang kemudian menyuruh seorang pegawai senior untuk membereskannya.

Dua orang petugas mencari atasan mereka, selaku penanggungjawab kebersihan gedung. Mereka berpencar dari gerbang hingga ke gudang di bangunan paling belakang, namun sayangnya, keberadaan Didin tidak diketahui hingga saat ini.

Post a Comment