Seorang kawan baik datang ke rumah pada suatu siang.
Selagi ia mengantarkan barang pesanan saya, kami kemudian duduk di teras dan
bertukar kabar. Diantara kabar baik, sehat, alhamdulillah, terselip juga si X
sedang sakit, si Y sudah bercerai, si Z sedang proses cerai juga, si A rebutan
anak dengan mantan dan si B memutuskan tali pertemanan. Dalam sebuah pertemuan
singkat, semua cerita dan rahasia lantas mengalir deras. Motherhood menelan
kami hidup-hidup. Kami yang dulu begitu ringan melangkah, kini setengah nyawa
sudah habis dipakai mengurus rumah dan bekerja.
Dalam beberapa jam saja, banyak kelam yang terkuak.
Sahabat dekat kami, menjadi korban kekerasan rumah tangga. Kami tidak bisa
berbuat banyak lantaran ia tinggal di luar kota. Kawan baik diselingkuhi
berkali-kali sampai ingin mati. Seorang teman lain yang akhirnya bercerai,
masih harus berjuang agar mantan suami ingat anaknya, atau sekedar ingat untuk
menafkahi. Sekarang, mengimani menikah sekali untuk seumur hidup rasanya jadi
naif sekali.
Diri kami di SMA dulu
pasti tidak menyangka kalau menjadi dewasa berarti level derita juga bertambah.
Cinta bukan seperti yang digambarkan dalam lagu Hoobastank yang sering kami
request di radio. Kadang ia lebih mirip seperti yang dibilang Slipknot,
And love is just a camouflage for what resembles rage again
Dua orang berada dalam satu ikatan, kadang hanya
berupa nama-nama tercatat. Tak ada perasaan cinta, atau apapun yang mau kau
taruh di sana. Seringnya hanya hampa. Kosong. Kata kawan baik saya, mau dibawa
sampai ke mana gerobak derita ini, biar nanti tuhan yang beri tahu. Lewat doa,
lewat mimpi atau lewat bukti-bukti perselingkuhan lagi.
Kawan baik lantas bertanya lagi, apakah masih ada
cinta tersisa untuknya di belahan manapun di dunia. Retorikal pun, tapi tetap
saja tak bisa saya jawab. Sekadar menyuruhnya sabar juga saya tak mampu. Musti berapa
kilogram kesabaran untuk menghadapi ular berbisa. Alih-alih melawan, gigitan
bisanya akan masuk ke pembuluh darah, kita pun akan tetap mati perlahan. Maka,
membiarkan ia di kandang atau di alam liar saja sekalian. Agar aman, agar fisik
tidak mati sia-sia.
Mari duduk bersamaku di kedai kopi. Kita pilih tempat di
samping jendela besar dengan pemandangan ke arah jalan, supaya mataku bisa sesekali
melarikan diri dari tatapan teduhmu itu. Ya, aku suka kopi hitam tanpa gula
sekarang. Datang juga masanya untuk
mulai mengurangi minuman manis. Apa kabarmu? Berapa tahun? Tiga belas katamu? Sungguh
hari Rabu yang absurd di bulan Januari. Kita bertemu lagi karena sebuah aplikasi.
Tidak, aku tidak terburu-buru, mari kita nikmati dulu momen langka yang kita
tahu tak akan kejadian lagi. Kecuali kalau, aku dan kamu berkehendak sama. Begitu
kan? Ceritakan padaku banyak hal. Seperti dahulu.
Kau masih mendengarkan The Strokes? Atau hari-harimu kini
dimulai dengan ritual Cocomelon di layar? Tidak, anakku sudah di sekolah dasar.
Tidak lagi tertarik pada nursery rhymes. Ya, hanya ada satu. Kamu? Wah, tidak
menyangka kamu bisa jadi ayah tiga anak. Kukira kamu bukan laki-laki yang
menginginkan keturunan. Kamu pernah bilang itu padaku. Tujuan menikah bukan
anak, jangan membebani diri, katamu. Wah, sudah pasti kita takkan ke mana-mana.
Karena dahulu menjadi ibu adalah cita-citaku. Wanita hebat dia, bisa mengubah pola
pikirmu itu.
Aku melakoni peranku dengan cukup baik. Ya, setidaknya
menurut bapaknya anakku. Tentu, aku masih melukis, beberapa karyaku ada di
galeri ternama. Kamu tahu saja, ya pasti dibantu orang dalam. Bapaknya anakku
itu kenal baik dengan banyak kurator. Apa? Kamu masih menganggapku seperti Rara
Mendut? Lantas, apa kamu masih berkhayal kamu itu Pranacitra? Tidak, tidak, kita
bukan seperti mereka. Aku tidak mau mati bersamamu. Atau bisa juga iya, hanya
saja aku tetap memilih dinikahi Tumenggung Wiraguna, agar hidupkku aman saja
berlimpah kesejahteraan. Nyai Ajeng bisa kusingkirkan dengan mudah bagai
menjentikkan jari. Begitu, kan? Ah, mengapa mereka tidak membuat kembali
filmnya ya? Kamu tahu kan rasanya ada yang gatal sewaktu melihat Meriam Bellina
memerankan Raden Rara Mendut. Dahulu kan mencari aktris itu susah sekali. Sekarang
rasanya banyak aktris muda berbakat. Perempuan manis berkulit gelap dari pantai
utara, diperankan oleh wanita keturunan Belanda berkulit terang itu benar-benar
mengangguku.
Ah, sialan, kamu tertawa. Manis sekali. Kerutan di sisi
matamu mulai kentara. Berapa usia kita sekarang? Tahun ini aku tiga puluh lima.
Sama ya? Aduh, jangan gombal. Tentulah aku menua. Jika menurutmu tidak begitu
terlihat, percayalah skincare yang harganya tidak murah itu memang bekerja
dengan baik. Rambutku juga mulai
beruban. Tidak, tidak, aku kapok mewarnai rambut. Aku harus berjuang lama untuk
mengurusi rambut rontok.
Aku dan kamu terdiam. Sebuah lagu diputar di kedai ini. Stolen
Dance oleh Milky Chance. Lalu, kamu tertawa lagi. Ya, pasti. Mengapa ada sebuah
kebetulan-kebetulan yang menggelitik seperti ini ya? Aku tahu, sepuluh tahun
lalu aku masih membuka inbox Facebook-ku. Tautan lagu ini barangkali masih ada
di histori percakapan kita.
I want you by my side
So that I never feel alone again
They've always been so kind
But now they've brought you away from here
I hope they didn't get your mind
Your heart is too strong anyway
We need to fetch back the time
They have stolen from us
And I want you
We can bring it on the floor
You've never danced like this before
We don't talk about it
Dancin' on do the boogie all night long
Stoned in paradise, shouldn't talk about it
Kita bukan lagi mahasiswa semester tiga. Kamu kira tiga
belas tahun tidak bersua, aku masih orang yang sama? Jika aku mengikuti ideal
versimu, tentu tidak sebegini nyaman hidupku. Ya, orang-orang berubah. Seratus poin untukmu. Tapi lihat, ada juga yang tidak
berubah? Kamu masih membawa buku ke mana-mana. Boleh lihat buku apa itu? Ah,
aku juga baru menyelesaikan buku itu. Bahkan, sudah mengulasnya di laman
Insta-ku. Kau tahu? Mengapa tidak bilang kamu follow aku? Baik, aku follow
balik ya.
Betul, setelah sekian lama akhirnya aku sempat membaca Murakami-mu
yang maha agung itu. Tidak, aku tidak kecewa. Tapi, tuduhan-tuduhan kalau dia
misoginis memang nyata. Aku hanya tidak suka pada tokoh-tokoh perempuan yang
menye-menye begitu. Maksudku, seakan-akan semua perempuan ini sangat bergantung
pada si Watanabe. Tidak, aku tidak membenci Watanabe. Hanya penasaran kupikir dia
akan ikut mati juga. Ya, ya, aku baru saja memesan judul yang kau sebut itu. Banyak ulasan
bagus soal buku itu. Kalau ada waktu luang, tentu kubaca.
Lihat, sudah satu setengah jam kita di sini. Aku harus segera
beranjak. Apa katamu? Tentu saja Tumenggung Wiraguna memberikanku mobil pribadi.
Aku hanya malas membawanya. Aku lebih suka berpindah dari satu ojek ke ojek
lain lalu naik bus atau taksi. Tidak repot mencari parkir.
Mari kita lanjutkan perjalanan.
Empat puluh empat menit terlewati.
Baiklah, aku turun di sini. Terima kasih karena sudah
berhati-hati. Juga karena tidak mengajakku ngobrol dan membiarkanku menikmati
album Taylor Swift yang baru. Oh, tentu saja atas nostalgia kita tadi. Tidak, aku tidak tahu. Tidak
perlu mengupayakan hal-hal yang kita tahu benar tidak ada ujungnya.
Saya berkesempatan menonton ‘Paranoia’ pada early
screening mereka akhir Oktober lalu. Selain karena butuh me-time, lokasi pemutaran
yang dekat dari rumah, dan tentu saja karena ada Nicholas Saputra--yang menjadi
cast di film tersebut, sedang promo bersama produser, Mira Lesmana, sutradara
Riri Reza dan Nirina Zubir.
Ibu-ibu angkatan milenial atau yang dua puluh tahun
lalu menjadi remaja, besar bersama Rangga dan AADC kayak saya gini, pasti
penasaran banget dong liat akting Nicho main di film yang--kalau dari
trailernya sih, dapat disimpulkan film ‘Paranoia’ ini bergenre thriller ya.
Dengan spirit #KembaliKeBioskop, saya sebenernya
terharu waktu Riri Reza, sebagai sutradara memberikan sambutan pembuka sebelum
pemutaran film. Pandemi ini beneran mengentak banyak industri tak terkecuali
industri film Indonesia. Kalau saya gambarin dengan sotoy ya, finally filmmaker
bisa ketemu langsung dengan audiens yang akan melihat karya mereka--setelah
satu setengah tahun pandemi, I know it meant a lot for them.
Lalu, bagaimana dengan filmnya sendiri? HAHAAHAHADUUH...
It could have been better, really.
‘Paranoia’ bercerita tentang ibu dan anak
perempuannya yang berusaha melarikan diri dari sang suami. Dina diperankan oleh
Nirina Zubir, membawa kabur sebuah barang berharga milik Gion (Lukman Sardi), suaminya,
yang membuat Gion murka. Ada beberapa adegan flash back yang menggambarkan
bagaimana Gion berperangai kasar secara fisik dan mental terhadap Dina. Berlatar
situasi pandemi, Dina yang bekerja mengelola vila-vila di Bali milik seorang
pengusaha, bersama putri semata wayangnya, Laura (Caitlin North-Lewis) terpaksa
pindah dan bersembunyi begitu mengetahui Gion bebas dari penjara. Mereka
kemudian bertemu dengan Raka, diperankan oleh Nicholas Saputra, pria misterius
yang menempati vila lain tidak jauh dari vila tempat Dina dan Laura
bersembunyi.
Saya sangat apresiasi filmmaker mau mengangkat tema
kekerasan domestik yang berdampak panjang pada psikis korban. Dina di sini adalah
hasil dari relasi pernikahan dengan suami yang abusif. Istri dan ibu dengan
jiwa tidak stabil akibat represi dari pasangan tentu berpengaruh pada pengasuhan
anak
Pada beberapa dialog dengan Laura, Dina mengalami
rasa curiga berlebih, takut dengan orang asing, bahkan di salah satu adegan,
Laura pun akhirnya mengkonfrontasi Dina kalau dia sebenernya udah eneg pindah ke banyak
kota dengan Ibu yang selalu was-was diikuti orang suruhan Gion. Ya pokoknya
parno gitu (yeah, of course! Hence the title)
Namun, entah kenapa buat saya eksekusinya ngga
berhasil ya untuk menyampaikan pesan—itu pun kalau ada. Saya ngerti film ini
diproduksi di situasi yang jauh dari optimal, tapi ini kan datangnya dari rumah
produksi ternama yang film-filmnya banyak jadi favorit saya. Kok gini?
Lack
of characters’ depth
Saya sama sekali ngga bisa berempati pada semua
karakter utama, bahkan pada Dina. Tapi harus saya akui, Nirina bermain ciamik
di sini! You surely could feel her trembles, the fear in her eyes, but that’s
it. Pun pada karakter Laura yang harusnya mencerminkan the teen angst karena
ibu yang overprotective, ngga bisa didapatkan sama sekali. Selain ngga nyaman
dengan aksennya, hampir setengah film kamu akan liat Laura and her bikini body.
Too much and unnecessary.
Lalu, bagaimana dengan karakter Raka yang diperankan
oleh idola wanita tingkat nasional, Nicholas Saputra? Raka yang misterius,
saking misteriusnya dia siapa, rasanya kalau ngga ada juga ngga apa-apa lah.
*KZL
Sepanjang film sejak kemunculan Raka, kita akan
bertanya-tanya tentang dia. Tapi ngga ada petunjuk apa pun dong. Raka, masa
kamu kalah sama Blue? Blue aja masih kasih kita clue.
Asli deh, kita akan tahu
Raka adalah mantan arsitek yang anaknya meninggal dalam kecelakaan, trus ya udah.
Teka-teki Raka ini, apa backstory dia, kenapa dia begitu misterius, ini
cuma kejawab di adegan udah mau akhir trus gitu doang. Beneran GITU DOANG
HAHAHHA. Sampe bingung aku tuh. Sepanjang film beneran ngga bisa connect
dengan karakter Raka ini, walau dulu kukira Nicho adalah jodohku . Padahal ya, background karakter si Raka masih bisa digali lho.
Kehilangan anak, trauma, mencoba ‘kabur’ dari kenyataan, mungkin menyalahkan
diri sendiri. Tapi di sini kita ngga bisa dapetin itu... Maaf ya, Nicho, you didn’t make it here. Better
luck, next time?
Untuk karakterGion, masih terlalu dangkal buat saya sih. Ekspresi mikro Lukman Sardi
saat menjadi suami abusif cukup apik lho. Kita bisa cukup merasa ‘terancam’
hanya dengan tatapannya. Tapi tetap semua terasa nanggung. Apalagi pas adegan
ending, haduh. Alih-alih merasa terharu, penonton satu studio malah ngakak.
Anyway, this
certainly not my movie. Ngga berkesan, ke luar studio, juga udah lupa.
Penyelamat film ini buat saya adalah scoring dan musik soundtrack-nya. Scoring-nya
cakep dalam membangun nuansa tegang.
Jadi, kalau dari saya cukup 2.5/5 saja. Satu bintang
penuh buat Nirina, satu untuk penata musik, setengah untuk dibagi-bagi...