Di Suatu Rabu

28 January 2023

Photo by Lisa Fotios on Pexels.com

Mari duduk bersamaku di kedai kopi. Kita pilih tempat di samping jendela besar dengan pemandangan ke arah jalan, supaya mataku bisa sesekali melarikan diri dari tatapan teduhmu itu. Ya, aku suka kopi hitam tanpa gula sekarang.  Datang juga masanya untuk mulai mengurangi minuman manis. Apa kabarmu? Berapa tahun? Tiga belas katamu? Sungguh hari Rabu yang absurd di bulan Januari. Kita bertemu lagi karena sebuah aplikasi. Tidak, aku tidak terburu-buru, mari kita nikmati dulu momen langka yang kita tahu tak akan kejadian lagi. Kecuali kalau, aku dan kamu berkehendak sama. Begitu kan? Ceritakan padaku banyak hal. Seperti dahulu.

Kau masih mendengarkan The Strokes? Atau hari-harimu kini dimulai dengan ritual Cocomelon di layar? Tidak, anakku sudah di sekolah dasar. Tidak lagi tertarik pada nursery rhymes. Ya, hanya ada satu. Kamu? Wah, tidak menyangka kamu bisa jadi ayah tiga anak. Kukira kamu bukan laki-laki yang menginginkan keturunan. Kamu pernah bilang itu padaku. Tujuan menikah bukan anak, jangan membebani diri, katamu. Wah, sudah pasti kita takkan ke mana-mana. Karena dahulu menjadi ibu adalah cita-citaku. Wanita hebat dia, bisa mengubah pola pikirmu itu.

Aku melakoni peranku dengan cukup baik. Ya, setidaknya menurut bapaknya anakku. Tentu, aku masih melukis, beberapa karyaku ada di galeri ternama. Kamu tahu saja, ya pasti dibantu orang dalam. Bapaknya anakku itu kenal baik dengan banyak kurator. Apa? Kamu masih menganggapku seperti Rara Mendut? Lantas, apa kamu masih berkhayal kamu itu Pranacitra? Tidak, tidak, kita bukan seperti mereka. Aku tidak mau mati bersamamu. Atau bisa juga iya, hanya saja aku tetap memilih dinikahi Tumenggung Wiraguna, agar hidupkku aman saja berlimpah kesejahteraan. Nyai Ajeng bisa kusingkirkan dengan mudah bagai menjentikkan jari. Begitu, kan? Ah, mengapa mereka tidak membuat kembali filmnya ya? Kamu tahu kan rasanya ada yang gatal sewaktu melihat Meriam Bellina memerankan Raden Rara Mendut. Dahulu kan mencari aktris itu susah sekali. Sekarang rasanya banyak aktris muda berbakat. Perempuan manis berkulit gelap dari pantai utara, diperankan oleh wanita keturunan Belanda berkulit terang itu benar-benar mengangguku.

Ah, sialan, kamu tertawa. Manis sekali. Kerutan di sisi matamu mulai kentara. Berapa usia kita sekarang? Tahun ini aku tiga puluh lima. Sama ya? Aduh, jangan gombal. Tentulah aku menua. Jika menurutmu tidak begitu terlihat, percayalah skincare yang harganya tidak murah itu memang bekerja dengan baik.  Rambutku juga mulai beruban. Tidak, tidak, aku kapok mewarnai rambut. Aku harus berjuang lama untuk mengurusi rambut rontok.

Aku dan kamu terdiam. Sebuah lagu diputar di kedai ini. Stolen Dance oleh Milky Chance. Lalu, kamu tertawa lagi. Ya, pasti. Mengapa ada sebuah kebetulan-kebetulan yang menggelitik seperti ini ya? Aku tahu, sepuluh tahun lalu aku masih membuka inbox Facebook-ku. Tautan lagu ini barangkali masih ada di histori percakapan kita.

I want you by my side

So that I never feel alone again

They've always been so kind

But now they've brought you away from here

I hope they didn't get your mind

Your heart is too strong anyway

We need to fetch back the time

They have stolen from us

And I want you

We can bring it on the floor

You've never danced like this before

We don't talk about it

Dancin' on do the boogie all night long

Stoned in paradise, shouldn't talk about it

Kita bukan lagi mahasiswa semester tiga. Kamu kira tiga belas tahun tidak bersua, aku masih orang yang sama? Jika aku mengikuti ideal versimu, tentu tidak sebegini nyaman hidupku. Ya, orang-orang berubah. Seratus  poin untukmu. Tapi lihat, ada juga yang tidak berubah? Kamu masih membawa buku ke mana-mana. Boleh lihat buku apa itu? Ah, aku juga baru menyelesaikan buku itu. Bahkan, sudah mengulasnya di laman Insta-ku. Kau tahu? Mengapa tidak bilang kamu follow aku? Baik, aku follow balik ya. 

Betul, setelah sekian lama akhirnya aku sempat membaca Murakami-mu yang maha agung itu. Tidak, aku tidak kecewa. Tapi, tuduhan-tuduhan kalau dia misoginis memang nyata. Aku hanya tidak suka pada tokoh-tokoh perempuan yang menye-menye begitu. Maksudku, seakan-akan semua perempuan ini sangat bergantung pada si Watanabe. Tidak, aku tidak membenci Watanabe. Hanya penasaran kupikir dia akan ikut mati juga. Ya, ya, aku baru saja memesan judul yang kau sebut itu. Banyak ulasan bagus soal buku itu. Kalau ada waktu luang, tentu kubaca.

Lihat, sudah satu setengah jam kita di sini. Aku harus segera beranjak. Apa katamu? Tentu saja Tumenggung Wiraguna memberikanku mobil pribadi. Aku hanya malas membawanya. Aku lebih suka berpindah dari satu ojek ke ojek lain lalu naik bus atau taksi. Tidak repot mencari parkir.

Mari kita lanjutkan perjalanan.

Empat puluh empat menit terlewati.

Baiklah, aku turun di sini. Terima kasih karena sudah berhati-hati. Juga karena tidak mengajakku ngobrol dan membiarkanku menikmati album Taylor Swift yang baru. Oh, tentu saja  atas nostalgia kita tadi. Tidak, aku tidak tahu. Tidak perlu mengupayakan hal-hal yang kita tahu benar tidak ada ujungnya.

Selamat siang.

Aku beri kamu bintang lima.

Selamat bekerja kembali.

Read More

PARANOIA : Serba Nanggung

12 November 2021



 [MENGANDUNG SPOILER]

Saya berkesempatan menonton ‘Paranoia’ pada early screening mereka akhir Oktober lalu.  Selain karena butuh me-time, lokasi pemutaran yang dekat dari rumah, dan tentu saja karena ada Nicholas Saputra--yang menjadi cast di film tersebut, sedang promo bersama produser, Mira Lesmana, sutradara Riri Reza dan Nirina Zubir.


Ibu-ibu angkatan milenial atau yang dua puluh tahun lalu menjadi remaja, besar bersama Rangga dan AADC kayak saya gini, pasti penasaran banget dong liat akting Nicho main di film yang--kalau ­dari trailernya sih, dapat disimpulkan film ‘Paranoia’ ini bergenre thriller ya.

Dengan spirit #KembaliKeBioskop, saya sebenernya terharu waktu Riri Reza, sebagai sutradara memberikan sambutan pembuka sebelum pemutaran film. Pandemi ini beneran mengentak banyak industri tak terkecuali industri film Indonesia. Kalau saya gambarin dengan sotoy ya, finally filmmaker bisa ketemu langsung dengan audiens yang akan melihat karya mereka--setelah satu setengah tahun pandemi, I know it meant a lot for them.

Lalu, bagaimana dengan filmnya sendiri? HAHAAHAHADUUH...

It could have been better, really.

‘Paranoia’ bercerita tentang ibu dan anak perempuannya yang berusaha melarikan diri dari sang suami. Dina diperankan oleh Nirina Zubir, membawa kabur sebuah barang berharga milik Gion (Lukman Sardi), suaminya, yang membuat Gion murka. Ada beberapa adegan flash back yang menggambarkan bagaimana Gion berperangai kasar secara fisik dan mental terhadap Dina. Berlatar situasi pandemi, Dina yang bekerja mengelola vila-vila di Bali milik seorang pengusaha, bersama putri semata wayangnya, Laura (Caitlin North-Lewis) terpaksa pindah dan bersembunyi begitu mengetahui Gion bebas dari penjara. Mereka kemudian bertemu dengan Raka, diperankan oleh Nicholas Saputra, pria misterius yang menempati vila lain tidak jauh dari vila tempat Dina dan Laura bersembunyi.

Saya sangat apresiasi filmmaker mau mengangkat tema kekerasan domestik yang berdampak panjang pada psikis korban. Dina di sini adalah hasil dari relasi pernikahan dengan suami yang abusif. Istri dan ibu dengan jiwa tidak stabil akibat represi dari pasangan tentu berpengaruh pada pengasuhan anak

Pada beberapa dialog dengan Laura, Dina mengalami rasa curiga berlebih, takut dengan orang asing, bahkan di salah satu adegan, Laura pun akhirnya mengkonfrontasi Dina kalau dia sebenernya udah eneg pindah ke banyak kota dengan Ibu yang selalu was-was diikuti orang suruhan Gion. Ya pokoknya parno gitu (yeah, of course! Hence the title)

Namun, entah kenapa buat saya eksekusinya ngga berhasil ya untuk menyampaikan pesan—itu pun kalau ada. Saya ngerti film ini diproduksi di situasi yang jauh dari optimal, tapi ini kan datangnya dari rumah produksi ternama yang film-filmnya banyak jadi favorit saya. Kok gini?

Lack of characters’ depth

Saya sama sekali ngga bisa berempati pada semua karakter utama, bahkan pada Dina. Tapi harus saya akui, Nirina bermain ciamik di sini! You surely could feel her trembles, the fear in her eyes, but that’s it. Pun pada karakter Laura yang harusnya mencerminkan the teen angst karena ibu yang overprotective, ngga bisa didapatkan sama sekali. Selain ngga nyaman dengan aksennya, hampir setengah film kamu akan liat Laura and her bikini body. Too much and unnecessary

Lalu, bagaimana dengan karakter Raka yang diperankan oleh idola wanita tingkat nasional, Nicholas Saputra? Raka yang misterius, saking misteriusnya dia siapa, rasanya kalau ngga ada juga ngga apa-apa lah. *KZL

Sepanjang film sejak kemunculan Raka, kita akan bertanya-tanya tentang dia. Tapi ngga ada petunjuk apa pun dong. Raka, masa kamu kalah sama Blue? Blue aja masih kasih kita clue. 

Asli deh, kita akan tahu Raka adalah mantan arsitek yang anaknya meninggal dalam kecelakaan, trus ya udah. Teka-teki  Raka ini, apa backstory dia, kenapa dia begitu misterius, ini cuma kejawab di adegan udah mau akhir trus gitu doang. Beneran GITU DOANG HAHAHHA. Sampe bingung aku tuh.  Sepanjang film beneran ngga bisa connect dengan karakter Raka ini, walau dulu kukira Nicho adalah jodohku . Padahal ya, background karakter si Raka masih bisa digali lho. Kehilangan anak, trauma, mencoba ‘kabur’ dari kenyataan, mungkin menyalahkan diri sendiri. Tapi di sini kita ngga bisa dapetin itu... Maaf ya, Nicho, you didn’t make it here. Better luck, next time?

Untuk karakter  Gion, masih terlalu dangkal buat saya sih. Ekspresi mikro Lukman Sardi saat menjadi suami abusif cukup apik lho. Kita bisa cukup merasa ‘terancam’ hanya dengan tatapannya. Tapi tetap semua terasa nanggung. Apalagi pas adegan ending, haduh. Alih-alih merasa terharu, penonton satu studio malah ngakak.

 Anyway, this certainly not my movie. Ngga berkesan, ke luar studio, juga udah lupa. Penyelamat film ini buat saya adalah scoring dan musik soundtrack-nya. Scoring-nya cakep dalam membangun nuansa tegang.

Jadi, kalau dari saya cukup 2.5/5 saja. Satu bintang penuh buat Nirina, satu untuk penata musik, setengah untuk dibagi-bagi...

Read More

Sepotong Lainnya

04 August 2021

Slender Woman by Plato Terentev on Pexel


Beberapa waktu lalu, saya berpapasan dengan seorang sahabat lama. Sebut saja dia, SH. SH adalah sahabat masa kecil saya, kami berteman sejak taman kanak-kanak. Kami besar di lingkungan yang sama dan orang tua kami juga berteman cukup baik. Pertemuan kemarin itu terasa sangat canggung, karena kami sudah sangat lama tidak bertukar sapa. SH di masa kini jauh berbeda dibanding SH ketika kami masih main bersama saat SMP (yaaeyalaah...) 

 Sejenak saya mengarungi kembali masa SD dan SMP saat masih berteman dengan SH. Begitu banyak yang saya dapat, tapi banyak juga kehilangan saya. Intan remaja adalah anak yang tidak percaya diri, merasa rendah karena tidak cantik dan lain lain. Sebagian besar karena SH. Saya tahu kurang bijak kalau bilang begini, apalagi ini sudah lama sekali. Sejak kelas 4 SD, SH selalu menanyakan apakah saya mendapat coklat setiap hari Valentine. Saya selalu berbohong kalau saya dapet, padahal ya siapa yang mau ngasih, saya juga ngga doyan. Atau sering bertanya-tanya siapa orang yang saya suka. Apakah ganteng, kaya dan sebagainya. SH selalu punya pacar, sedangkan saya ngga. Saat kami lulus SMP, SH dengan bangga bercerita dia sudah punya sebelas mantan pacar, sementara saya, ngga pernah pacaran. 

SH selalu membuat seakan-akan pacaran itu pencapaian yang wah, buat saya saat itu, ya ngga penting. Sepanjang pertemanan kami dari SD, SH selalu punya pacar. Selalu. SH bahkan bisa bicara tanpa beban kalau dia sudah berkali-kali memberikan oral seks pada pacarny. Sejak SD, SH ngga pernah belajar. Kalau mau ujian, dia selalu mengandalkan saya. Kalau saya masuk kelas pagi, dia kelas siang, dia pasti minta tulisin jawaban ujian. PR sekolah pun dia nyontek sama saya. Dulu saya nurut aja, karena dia teman yang baik. Maksudnya, anak usia segitu, would do anything for friends. We don't do this sorting yet. 

 Ada satu hal lagi, SH selalu mencemooh jerawat saya. Getting acnes on the teen age is a super normal. Saya pun sadar itu, saya juga ngga diam aja. Ibu belikan macam-macam supaya redakan jerawat saya. But, fighting hormonal is like counting sands on the beach alias ya udah lah ya...
 Karena SH yang bodoh dalam pelajaran (err...) dia lulus SMP dengan nilai seadanya. Sementara saya, ya ngga pinter-pinter amat juga biasa aja, lulus cukup untuk masuk SMA favorit. Mungkin itu salah satu hal terbaik dalam hidup. 

Pisah sekolah ini membuat saya dan SH tidak lagi main bersama. Saya pun ngga pernah kontak lagi dengan dia terlebih saat saya melanjutkan kuliah di Bandung. Pertemuan kembali dengan SH kemarin membuka kembali kotak kenangan yang sudah saya kubur dalam-dalam. Menjadi dewasa mengajarkan saya pentingnya memilah teman. Dipilah ya bukan pilih-pilih gitu. Mana pandemi ‘kan, makin susah juga bergaulnya. Dan SH sudah pasti orang yang saya coret dari daftar teman. 

Saya juga ngga yakin dia masih anggap saya teman sih, tapi bagus kalau begitu. Relasi toksik di masa remaja saya dengan dia dulu, kadang menyisakan luka, tapi yah diplester lagi aja, gimana?
Read More