The Sea Lions and The Carousel

29 March 2021

pic by Praphaphan on Pexels.com

 

Aku memeluk erat Rahmat dari belakang tubuhnya. Kuhujani tengkuk yang menggosong terbakar matahari itu dengan kecupan-kecupan. Kuhirup wangi tubuhnya lekat-lekat. Parfum murah tiruan beraroma kayu, bercampur peluh setengah hari dan bau amis ikan-ikan kecil. Aku lega melihat dia bisa  tersenyum tipis. 

Rahmat mengangkat kakinya dari air. Jari jemari yang mengkerut dan keriput itu, aku tahu dia sudah terlalu lama duduk termangu di tepi kolam. Rahmat melenguh, menatap nanar ke arah bangku penonton. Kalau tak ada tragedi itu, mungkin sekarang gelanggang ini sedang riuh sorak sorai tepuk tangan karena trik-trik baru yang dipertunjukkan oleh Surti dan Tedjo.

 Surti yang mendadak mati membuat Rahmat terpukul. Namun dalam hati, aku bahagia bisa jadi tempat sandaran Rahmat yang sedang berduka saat ini. Delapan bulan berpacaran, aku tak pernah rasakan perhatian istimewa darinya. Waktunya terkuras hanya untuk Surti dan Tedjo, primadona di Taman Bermain. Tiap kami berkencan yang dia ceritakan hanyalah soal dua singa laut bodoh itu. Rahmat adalah pawang mereka selama lima tahun. Sementara, aku cuma punya keluh kesah tentang anak-anak berebut antrean masuk, yang jadi pemandangan sehari-hari dari balik loket komidi putar.  Aku malu mengakui ini, tapi aku cemburu pada Surti dan Tedjo. Semua rahasia hidup, bahkan yang gelap sekalipun, Rahmat bagikan pada mereka. Singa laut itu cerdas dan tak ada hewan yang menghakimi, katanya waktu itu.

Baru saja aku mereguk degup karena bibirku dan Rahmat saling bertemu, suara erangan Tedjo menggema di seluruh arena. Rahmat pamit sebentar ke kandang di belakang panggung, barangkali Tedjo bosan, ujarnya. Ah, binatang sialan. Menganggu saja.

Aku berjongkok di tepi kolam pertunjukan, menyibakkan air sambil menunggu Rahmat kembali. Tiba-tiba kurasakan sebuah hantaman di punggung. Sangat keras hingga aku tercebur ke kolam sedalam dua meter itu. Aku panik! Aku tak pandai berenang! Tanganku berusaha menggapai apapun, namun nihil. Dari pandangan redupku, aku lihat sosok hitam legam dan besar, berpijak tegap di pinggir kolam. Sosok itu meraum nyaring ke arahku. Tedjo kah itu?! Astaga, benar Tedjo! Aku ingin berteriak tapi tak mampu. Ah, Tedjo, maafkan aku. Sungguh aku cuma ingin membuat Surti sakit. Tidak lebih. Aku tak mengira kerang busuk itu malah membunuhnya.

Aku mengenali suara Rahmat meneriakkan namaku. Mulanya terdengar lantang, lalu sayup-sayup. Kemudian, suara-suara perlahan menghilang. 

Post a Comment