narasi ulang tahun

20 May 2018





Sedikit ingar tak apa, asal sepi tidak bersemayam lama. Perempuan jingga menatap mirat di atas meja besi berwarna perak serupa pipi burung tepus. Selamat datang tahun yang baru, batinnya pada santiran di depan mata. Perempuan jingga melangkah ke arah jendela memutar perdah membuka tirai, menyambut matahari baru di hari Minggu. Lagi, ia memindai pantulan diri yang nampak di kaca jendela. Aku masih sama tanpa pupur dan palis merah pun aku tetap tak berubah.

Di atas lantai kayu tanpa babut, sepatu balet kelabu memutar diri mengikuti gerakan tubuh sang tuan. Tak ada kidung atau gita berdendang, perempuan jingga menari dengan lincahnya seperti yang ia lakukan setiap tahun di hari itu. Sebuah ritual pemanggil arwah, racaunya pada kuda sumba berbuntut emas, yang bertanya dari jarak tiga depa di depannya. Arwah apa, tanya si kuda lagi. Arwah-arwah masa lalu yang tak kunjung tiba, mungkin tersesat, mungkin juga karena kereta pedati para arwah belum menemukan sais yang tepat. Si kuda berbuntut emas terus bertanya tanpa makna kadang ia bercerita mengenai pelbagai hal yang tak penting. Perempuan jingga mulai jengah. Ingin diusirnya si kuda ini, tapi tak ada ia, tempat ini akan sunyi lagi.

Awalnya tak menggubris, namun lama kelamaan perempuan jingga pun mengacuhkan setiap lakon yang didongengkan si kuda sumba berbuntut emas. Diceritakannya sebuah tempat berpadang rerumputan hijau gadung. Jika datang dari arah barat, akan terlihat sungai berwarna cokelat pekat mengalir deras di sisi kanan.

Itu sungai kakao, kata si kuda, pahit rasanya, tapi kau bisa menambahkan madu yang diambil dari sarang lebah di pangkal pohon Sialang di sisi selatan. Setelah mengambil madu, kau bisa istirahat sejenak di bawahnya sambil menikmati semangkuk kakao yang menjadi manis tadi. Jika berjalan terus ke timur, sungai kakao akan membawa kita ke hilirnya, sebuah danau berwarna perunggu pada siang hari, dan berubah keemasan ketika petang datang.

Duduklah di tepi danau, kau akan mendengar nyanyian merdu para duyung diiringi seruling dari kulit kerang yang dibawakan sangat apik oleh tentara kuda laut. Sebuah nyanyian sendu tentang kekangenan pada bapak ibu dan aroma masa kecil yang merindu. 

Ketiduran pun tak apa. Malam akan memberi kejutan jika kau menengok langit. Puluhan konstelasi bintang berjajar siap menjadi hiburan matamu. Ada si Biduk di utara atau Orion di barat sana. Kau tahu jumlah bintang terlalu banyak sampai kita tidak bisa menghitungnya. Sangat banyak melebihi pasir di pantai manapun. 

...belum selesai si kuda sumba berbuntut emas bercerita mengenai tempatnya berasal, perempuan jingga memotongnya, bawa aku, pintanya. Bawa aku ke sana. Ke sebuah padang rerumputan hijau gadung seperti katamu. Kuda sumba berbuntut emas tersenyum lebar. Bagaimana dengan para arwah? Mereka tak suka tarianku, sudah kelamaan aku menunggu mereka datang, jawab perempuan jingga. 

Dilepasnya sepatu balet kelabu, dan naiklah perempuan jingga ke atas punggung si kuda. Kenapa kau lepas, tanya si kuda sumba. Aku lebih suka warna merah, ujarnya sambil tersenyum.


Minggu, 20 Mei 2018
menuju dekade keempat
Read More

...satu peluk hangat untuk Ibu Wenny

17 May 2018


Saya tidak lagi membuka Twitter untuk cari berita beberapa hari ini. Pengeboman pada pekan lalu di Surabaya buat saya terlalu menyesakkan, terlalu banyak luapan emosi, saya putuskan untuk lihat perkembangannya lewat berita televisi aja. Itupun kalau sempat. Ini bukan soal agama lagi. Tidak perlu jadi Nasrani untuk merasa takut akan teror, tidak harus jadi Muslim untuk merasa kecewa serta marah karena pelaku melabeli dirinya Islam. 

Sampai siang kemarin saya lihat berita di TV mengenai perkembangan jumlah korban. Salah satunya merenggut dua anak laki-laki kakak beradik. Detik itu juga hati saya patah berkeping-keping. Saya ngga bisa menahan tangis melihat sang Ibu melepas dua putra tercinta. Semua emosi berkecamuk, melebur, membaur seperti lava gunung berapi yang akhirnya tumpah lewat air mata. Saya peluk Aidan dan Dastan, dua balita yang kini jadi pelipur segala lara, dua manusia yang memberi saya arti. Akhirnya saya ganti kanal TV ke acara lain karena saya ngga sanggup melihat wajah sang Ibu.

Untuk Ibu Wenny, saya juga ibu dari dua putra. Pengalaman saya masi dangkal dibandingkan ibu, si adik baru berusia 3 bulan. Untuk berempati pun saya bingung bagaimana, karena saya ngga bisa mengerti harus punya perasaan seperti apa jika kehilangan dua anak. Saya kirim pelukan hangat dari Bekasi sini ya Bu.. Ibu Wenny pasti ibu yang sangat kuat sampai Tuhan berikan takdir seperti ini. 

Selamat jalan Nathan dan Evan...
Selamat jalan anak-anak manis, semoga di surga sana ada banyak mainan, buku-buku yang bagus dan taman bermain yang luas ya
Read More

...atau bawa saja pohon kelapa ke Mars!

15 May 2018


Ada hari-hari dimana rasanya saya hanya ingin terkungkung dalam dunia pilihan saya. Dunia dalam imaji bocah berusia dua yang tidak pernah takut jadi apapun. Tak apa jika menjadi mobil pemadam kebakaran tapi tidak berwarna merah. Jadi hamster yang tercebur tumpukan sampah lalu ditolong kodok abu-abu pun terasa sangat menyenangkan. Atau mungkin duduk di teras balkon dan membayangkan serunya jadi layang-layang. Terbang tinggi bersama burung gereja yang hinggap dari satu plafon rumah ke rumah lainnya. Dan bila masih ada waktu, kita bisa jadi masinis kereta malam perjalanan langsung dari Jakarta ke Jerman, jangan lupa belok dulu di Jepang!

Tidak perlu waspada pada apa di luaran sana, juga tidak harus merasa risih dengan reaksi orang-orang. Hanya ada dunia yang gembira untuk dipijak dan diinjak. Duduk di tepi tangga bercengkrama sambil menatap mata sang kekasih hati. Mungkin lebih nikmat jika diselingi kudapan mie goreng instan dan es susu cokelat buatan si asisten rumah tangga.

Jika tanah ini tidak lagi aman untuk kita berlarian, mungkin sudah saatnya kita bangun roket saja. Ada bintang bersinar terlalu terang di atas genting rumah pada penghujung April lalu. Oh, itu Jupiter! Ayo ambil biji pohon mangga, kita bawa oleh-oleh untuk ditanam di sana!
Read More

Motherhood 101





*tulisan ini pernah saya post. entah kenapa sejak ganti URL banyak tulisan ngga muncul. saya post ulang karena tulisan ini menjadi salah satu fragmen penting dalam hidup saya. tsaeeeaaah 

Tiga minggu pertama kelahiran Aidan (anak pertama saya) adalah waktu terberat yang pernah saya rasakan seumur hidup saya. Berbagai penyesuaian diri dan adaptasi sebagai ibu ternyata bukan hal yang mudah sama sekali. Kalo inget drama percintaan jaman remaja dulu *halah* ngejar gebetan, berantem sama sahabat sendiri gara-gara cowok, perang dingin sama senior di kampus, ternyata ga ada apa-apanya dibanding dengan drama menjadi ibu baru.

Belom reda sakitnya jahitan persalinan, saya harus masuk lagi ke fase menyusui dan ga segampang itu! Menyusui bukan cuma perkara buka beha terus anaknya minum susu. Ini jauuuuh lebih susah dari bayangan saya. Semua teori yang saya pelajari selama hamil, ga ada bekasnya ketika dihadapkan dengan prakteknya langsung. Minggu pertama jadi ibu, saya beneran clueless. Ngga ngerti harus diapain ini anak. Proses menyusui pun bener2 bikin lelah dan frustasi. Saya sempat mengalami puting lecet yang ampuuun deh ini lebih sakit dari sakit gigi bahkan rasanya lebih nyeri dibandingkan ngelahirin itu sendiri. Tiap menyusui saya harus nahan sakit karena lecet tadi bahkan sampe nangis.

Tiap malam saya seperti digebukin dan badan saya terasa remuk. Beberapa hari pertama saya bisa terbangun sepanjang malam karena anak ini nangis terus. Pernah saya sampe ngerasa 'tawar' dan bodo amat. Terserah itu bayi mau nangis semaleman atau gimana, saya ga mau tau *jahat yaa*

Walau pun suami ikut nginep di rumah sakit dan tidur di kamar saya, tapi kok ngga ngaruh yaaa. Saya sempet sebel pengen ngelempar baskom ke suami karena dia bisa tidur pules les les, sementara saya harus berjibaku menenangkan si bayi. Mungkin juga suster2 di Hermina Bekasi kesel sama saya, karena ngangkat bayi dari tempat tidur aja saya mesti nge-bell mereka. huhahahhaha

Hari ke-3, saya dihadapkan lagi pada kenyataan kalo bilirubin Aidan tinggi. Waktu itu sampe 14, di atas normal dan harus difototerapi. Sedih banget padahal hari itu harusnya sudah bisa pulang. Karena masih panik, saya putuskan untuk memperpanjang masa inap saya di Hermina. Selain harus nyusuin Aidan, saya ngerasa di RS banyak suster yg bantuin. Ditambah makanan di sini enak-enak. Duh, beneran deh, saya merasa keenakan nginep di Hermina. Dari sarapan, snack sampe makan malem beneran enakkk semua. Roti biasa yg kaya di warung2 aja rasanya enak banget dan ini juga approved by suami. Mungkin karena ini bukan menu orang sakit yaa. Plus saya juga ga ada diet khusus jadi apapun saya makan.

Jadilah saya nginep di RS sampe satu minggu. Hari ke-7, Aidan dibolehkan pulang, dengan bilirubin belum normal waktu itu masih 12,8 tubuhnya pun masih terlihat sangat kuning (angka normal bilirubin itu dibawah 10) dan dijadwalkan kontrol 3 hari lagi. Saya juga ngerasa udah kelamaan di RS dan pengen perawatan di rumah. Berdasarkan diagnosis, penyebab bilirubin Aidan tinggi adalah inkompabilitas AOB. seperti ibu-ibu baru pada umumnya, saya tentu panik dengan bilirubin tinggi ini. Mana kata DSAnya Aidan, kuning karena beda golongan darah ini bisa lebih lama daripada kuning fisiologis yang lebih 'normal' (artinya memang bayi kuning karena kerja hati belum sempurna, bukan patologis--seperti golongan darah tadi). 

Di rumah saya usahakan ngikutin saran orang-orang, yaitu dijemur. karena kuning pada newborn ini obatnya emang dijemur dan minum ASI sebanyak mungkin. Oya, alhamdulillah ASI saya lancar, mungkin karena saya sih percaya diri aja dan selalu afirmasi positif soal ASI ini. Lecet pada puting saya pun berkurang  walau kadang masih nyeri saat menyusui, tapi jauh lebih baik dibanding awal2 kemaren. 

 Newborn baby itu kan lebih banyak tidur ya, jadi kegiatan menyusui ini lumayan peer juga. Saya harus bangunin Aidan tiap 2 jam, kalo malem saya pasang alarm biar bisa nyusuin dia. Kadang juga saya bangunin tiap 4 jam, karena saya pengen tidur lamaan dikit *dikeplak*.

Masuk minggu ke-2, Aidan masih kuning aja. Saya berusaha tenang dan menganggap ini masi normal karena kan dia baru beradaptasi sama dunia luar. Sampai pada test lab selanjutnya, ternyata bilirubin Aidan naik ke angka 16.30. Haduuhhh, dunia kaya mau runtuh *ga lebay kok* mata saya udah berair, ga tahan pengen nangis sejadi-jadinya. Emang sih, seluruh tubuhnya kuning sampe ke mata dan lidah. Badannya juga lemes kaya ga ada tenaganya. DSA-nya langsung nyuruh rawat inap untuk fototerapi. Karena ngga memungkinkan untuk nginep di RS, maka selanjutnya saya harus mompa ASI dan dikirim maksimal 3 jam sekali. Karena fototerapi akan membuat bayi cepet haus, maka ASI yang dibutuhkan bisa lebih banyak dari yg seharusnya. 

Rasanya itu hari-hari paling berat buat saya. tiap hari kerjaan saya hanya mompa ASI, trus makan, mompa lagi. Kalo siang sampe sore, saya ikut nganterin ASI ke rumah sakit. Yang malem ke pagi, bapaknya aja. Tiap liat Aidan di-fototerapi, badan saya lemes rasanya. Dia nampak ngga betah klo matanya harus ditutup begitu. 

Lima hari dirawat, Aidan pulang dengan bilirubin 11, 4. Alhamdulillah, udah normal palingan disuruh jemur dan minum ASI aja. 


Ternyata cobaan beratnya dimulai dari siniiii, pemirsa!


Karena masih tinggal sama nyokap, urusan mandiin bayi dipegang nyokap (Hamdalah!). Saya nyusuin tiap 2 jam sekali. Jaitan persalinan masi berasa cenat-cenutnya.Setelah satu minggu di rumah, saya ngerasa kok si bayi nampak kurus aja. Waktu itu udah mikir ini anak ngga nambah apa ya beratnya Dan bener aja dong! Kontrol ke RS, pas ditimbang berat Aidan belom nambah sama sekali. Malahan turun. Jadi dalam 2 minggu ini, beratnya ga nambah. DSAnya bilang Aidan kena Tongue Tie. Sebelnya, DSA waktu itu malah nyaranin kasih sufor aja. Saya ngga anti sufor ya, cuma saya ngerasa ASI saya cukup banget nget nget. Jadi resep sufor itu buat saya opsi terakhir. Atas saran temen, saya minta second opinion ke dokter lain. JAdilah saya dan suami menemui DSA yang juga konsuler laktasi di Hermina Bekasi. 

Dan kata DSA kedua : iya, Aidan emang positif tongue tie. Duh, saya merasa kok ini ngga abis2, baru aja saya seneng bilirubin dia turun dan normal, sekarang tongue tie apalah ini. Dokter yang ini minta observasi dulu, ngga harus tindakan insisi. Posisi menyusui saya dibetulin, perlekatan bayi juga dibenerin. Satu minggu kemudian saya disuruh balik.

Dan coba yaaaa ibu-ibu bikin anak gemuk itu sungguh perjuangan sekali. Saya ngga tau harus gimana ceritanya. pokoknya hampir tiap malem saya bisa nangis sendirian karena capek. Ngerasa sendiri karena tengah malem saya harus bangun menenangkan bayi nangis. Mau minta bantuin orang lain, tapi anaknya kan nyusu dari saya. 

Saya juga nyoba ngasi ASI perah tapi anaknya susah minum lewat cupfeeder atau sendok. Dan saya masi keukeuh untuk ngga ngasi Aidan dot. Jadilah ASIP saya kebuang gitu aja. hiks.

Satu minggu berlalu...

berat Aidan naik, 400 gram lebih! DSAnya sampe nyuruh timbang ulang hahaha. Jadilah tongue tie ini diobservasi lagi. Minggu depan disuruh balik lagi untuk lihat apakah kenaikannya signifikan. Alhamdulillah, minggu-minggu selanjutnya berat Aidan naik terus. Dalam sebulan naik sekitar 1 kg. Duh, rasanya saya bahagia banget. Hari-hari berat sampe ngga tidur rasanya terbayarkan. Beneran saya rela remuk redam asal, anak sehat tumbuh kembangnya. 

Sekarang Aidan udah 11 minggu, beratnya udah 6 kg! Anaknya udah mulai ketawa dan senyum-senyum kalo diajak ngobrol. Pokoknya ya ibu-ibu, jangan khawatir dulu klo anak kena Tongue tie, selama tidak mengganggu proses menyusui, dalam arti berat anak naik dan ibu tidak merasa sakit, kayanya ngga mesti ada tindakan insisi. Kalo kata DSA Aidan, dampak tongue tie ini bisa jadi cadel, tapi soal pinter ngomong atau ngga itu tergantung perkembangan otak. Lagian emaknya Aidan juga cadel, dan teteup sehat :))



Read More